Ali Sadikin dan Kebijakan Kontroversial: Mengapa Ia Melegalkan Perjudian di Jakarta?

Nama Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta periode 1966-1977, tak bisa dilepaskan dari sejarah pembangunan Ibu Kota. Dikenal dengan julukan “Bang Ali”, ia adalah sosok yang tegas, berani, dan mengambil kebijakan-kebijakan yang kerap menuai kontroversi, salah satunya adalah melegalkan perjudian. Keputusan ini, yang hingga kini masih menjadi perdebatan, diambil Ali Sadikin bukan tanpa alasan kuat.

Jakarta yang “Kumuh” dan Anggaran yang Minim

Ketika Ali Sadikin pertama kali menjabat sebagai Gubernur pada April 1966, kondisi Jakarta jauh dari kata layak sebagai Ibu Kota negara. Kota itu digambarkan sebagai “kubangan kerbau” dengan jalan-jalan bolong, lalu lintas kacau, permukiman kumuh, dan infrastruktur yang sangat minim. Ia menghadapi tugas berat untuk mengubah wajah Jakarta, namun dengan keterbatasan anggaran yang parah.

Pada saat itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta hanya sekitar Rp 66 juta. Sebuah jumlah yang sangat kecil dan tidak sebanding dengan kebutuhan pembangunan kota yang begitu besar dan jumlah penduduk yang terus bertambah. Bantuan dari pemerintah pusat juga sangat terbatas. Ali Sadikin menyadari bahwa dengan kondisi finansial seperti itu, mustahil baginya untuk mewujudkan visi pembangunan Jakarta yang lebih baik.

Mencari Sumber Pendapatan Baru: Mengubah “Gelap” Menjadi Terang

Ali Sadikin melihat kenyataan bahwa praktik perjudian sudah ada dan marak di Jakarta secara ilegal. Banyak oknum, bahkan dari kalangan militer dan pejabat, yang terlibat dan mendapat keuntungan besar dari bisnis gelap ini tanpa membayar pajak sepeser pun kepada pemerintah.

Dari situlah muncul pemikiran pragmatis Ali Sadikin: daripada perjudian terus beroperasi secara ilegal dan keuntungannya dinikmati segelintir oknum, mengapa tidak dilegalkan dan dipungut pajaknya untuk kemaslahatan rakyat? Ia berargumen bahwa dengan melegalkan dan melokalisasi perjudian, pemerintah daerah dapat mengontrol aktivitas tersebut dan yang terpenting, mendapatkan pemasukan signifikan untuk pembangunan.

Ia bahkan pernah melontarkan pernyataan yang terkenal: “Kalau gelap-gelapan, siapa yang mengambil keuntungannya? Ayo jawab!” dan “Kalau ada orang Islam yang berjudi itu bukan salah gubernur, tetapi ke-Islaman orang itu yang bobrok dan sebagai umat Islam saya sendiri tidak pernah berjudi.”

Membiayai Pembangunan Jakarta

Ali Sadikin secara terbuka menyatakan bahwa hasil pajak dari perjudian akan digunakan sepenuhnya untuk membiayai pembangunan fasilitas publik di Jakarta. Dengan dana dari sektor ini, Ali Sadikin berhasil melakukan berbagai gebrakan pembangunan yang mengubah Jakarta secara drastis, seperti:

  • Pembangunan Infrastruktur: Membangun dan memperbaiki jalan-jalan, jembatan, dan sarana transportasi.
  • Fasilitas Pendidikan: Membangun banyak sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
  • Fasilitas Kesehatan: Mendirikan puskesmas dan fasilitas kesehatan lain untuk masyarakat.
  • Fasilitas Publik Lainnya: Membangun pasar, kompleks olahraga, hingga ikon budaya seperti Taman Ismail Marzuki (TIM) dan kebun binatang Ragunan.

Dalam 10 tahun masa kepemimpinannya, anggaran pembangunan DKI Jakarta melonjak drastis, dari Rp 66 juta menjadi Rp 89 miliar. Pajak dari perjudian menyumbang seperempat dari total pajak daerah pada puncaknya di tahun 1971.

Tanggung Jawab Pribadi dan Kontroversi Moral

Keputusan Ali Sadikin ini memang sangat kontroversial dan menuai kecaman keras dari berbagai pihak, terutama para ulama dan tokoh agama yang menganggap perjudian haram. Ali Sadikin pun mendapat julukan “Gubernur Maksiat” atau “Gubernur Judi”.

Namun, Ali Sadikin memilih untuk bergeming. Ia sadar betul akan nilai moral dan agama yang bertentangan, bahkan mengatakan bahwa ia rela menanggung dosa atas kebijakan tersebut sebagai tanggung jawab pribadinya kepada Tuhan demi kemajuan Jakarta. Ia menegaskan bahwa dirinya sendiri tidak pernah berjudi dan kebijakan ini adalah jalan keluar yang ia ambil dalam kondisi darurat.

Ali Sadikin bahkan pernah bercanda dengan menyarankan para ulama untuk bepergian menggunakan helikopter jika ingin menghindari jalan-jalan di Jakarta yang dibangun dari uang pajak judi. Ini menunjukkan betapa kuatnya tekadnya dalam mengambil kebijakan yang tidak populer demi tujuan yang lebih besar, yaitu pembangunan Ibu Kota.

Akhir dari Legalisasi

Meskipun Ali Sadikin berhasil membangun Jakarta dengan dana hasil pajak judi, kebijakan ini tidak bertahan lama. Tekanan sosial dan agama terus meningkat. Pada akhirnya, melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, pemerintah pusat di bawah Presiden Soeharto secara resmi melarang segala bentuk perjudian di Indonesia. Kebijakan ini berlaku efektif pada tahun 1981, mengakhiri era perjudian legal di Jakarta di bawah kepemimpinan Ali Sadikin.

Dengan demikian, keputusan Ali Sadikin melegalkan perjudian adalah cerminan dari pragmatisme seorang pemimpin dalam menghadapi tantangan finansial ekstrem demi pembangunan kota, meskipun harus menanggung label kontroversial dan menentang nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Horeg88
Horeg88